THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES ?

Wednesday, November 11, 2009

Air Minum 500CC

Jessica Chandra adalah anggota baru di sanggar tari. Wanita mungil itu selalu terlihat lincah dan riang. Gayanya luwes. Senyumnya ramah. Tidak banyak yang mengetahui usianya sudah berkepala tiga. Sepintas gayanya lebih mirip mahasiswi daripada seorang Ibu beranak satu.

Minggu lalu Jessica terlambat. Dia tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Setelah sepeda motor bututnya diparkirkan, dengan langkah tergesa-gesa Jessica langsung menuju meja resepsionis. Masih seperti biasa, senyum lebar selalu menyungging dibibirnya. Lalu dia menyodorkan kartu keanggotaan untuk diabsensi.

Jessica baru menyadari air botol minum dikantong samping ranselnya kosong. Ternyata dia lupa mengisi ulang botol minumnya karena tergesa-gesa. Jessica mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan. Mencari air dispenser. Dalam benaknya, disanggar tari sebesar itu pasti ada air dispenser yang disediakan untuk para member.

Dengan rasa sungkan dan ragu, Jessica bertanya kepada resepsionis apakah ia boleh meminta botol air minumnya diisi kembali.

“Oh, boleh” jawab resepsionis. Dipanggillah seorang pelayan dapur

“Maaf, mbak. Saya lupa mengisi air minum, boleh tolong diisikan ?” tanya Jessica

Jessica lalu memberikan botol minum berukuran 500 cc itu kepada pelayan dapur. Pelayan dapur agak ragu menerima botol minum tersebut. Dengan gelisah ia masih berdiri disana, seakan-akan menunggu persetujuan dari seseorang. Jessica sedikit heran. Keengganan itu terlihat begitu jelas.

Kemudian datanglah seorang wanita paruh baya. Entah siapa dia, tapi Jessica sering melihatnya di kafe lantai bawah. Mungkin pemilik sanggar tebaknya. Jessica merasa tidak enak dengan tatapan tajam dari mata wanita itu. Pelayan dapur agak gugup menjelaskan maksudku kepada wanita tersebut.

“Mbak ini minta air minum,” kata pelayan kepada wanita tua.

Wanita tua dengan sorot tidak bersahabat berkata : “Kenapa tidak beli saja air mineral, dek ? Kami ada menjualnya disini.”

Jessica menangkap pesan penolakan. Dia tau wanita itu enggan mengisikan air minumnya.

“Oh, gak boleh ya. Kalo gitu gak papa kok.”

Senyum Jessica sedikit agak dipaksa. Dia mengambil kembali botol minumnya dari tangan pelayan dapur dan segera bergegas melangkah ke lantai dua. Meski sedikit kecewa, Jessica menghibur diri bahwa dia tidak akan mati dehidrasi saat latihan.

Sementara di lantai bawah, masih terdengar debat kecil antara wanita tua itu dengan resepsionis. Jessica tidak lagi memperdulikan. Dia hanya ingin latihan hari itu segera usai.

***

Hari berikutnya, Jessica masih rutin mengikuti latihan seperti biasanya. Meski ada rasa tidak enak, Jessica tetap santun menundukkan kepalanya sambil tersenyum kepada wanita tua itu ketika menyapanya. Jessica sama sekali tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun. Yang pasti sejak itu, Jessica sangat memperhatikan botol air minumnya.

***

Suatu sore, Jessica tidak mengendarai sepeda motor bututnya. Suaminya berjanji akan menjemputnya. Hujan mengguyur deras sekali. Usai latihan, Jessica segera turun. Dia melihat hidangan mie goreng dan nasi goreng di meja. Malam itu adalah perayaan tahun pertama berdirinya sanggar tari. Wanita tua itu terlihat sibuk melayani para member lainnya. Mengajak mereka makan. Banyak yang menolak halus, mungkin takut gemuk, mungkin juga ingin segera pulang. Jessica pun menolak halus ketika ditawarkan. Makan terburu-buru bukan kebiasaannya. Lagipula, dia tidak ingin suaminya menunggu lama.

Jessica mengecek HPnya. Ternyata sms dari suaminya mengabari terlambat menjemput. Jessica masih berdiri diluar dan menunggu disana. Tiba-tiba wanita tua itu telah disampingnya.

“Kamu lagi menunggu seseorang ?”

“Iya. Suamiku”

“Suami ? Saya pikir kamu masih mahasiswi.”

Jessica tertawa. “Aku sudah 35 tahun.”

“Menikah muda ya ?”

“28”.

Jessica tidak tau pasti apakah umur segitu termasuk menikah muda.

“Bukankah kamu yang biasanya mengendarai sepeda motor ?”tanya lagi wanita itu

Tentu saja mudah dikenali. Karena Jessica satu-satunya wanita yang mengendarai sepeda motor ke sanggar. Kebanyakan member yang lain mengendarai mobil, sebagian lagi didrop oleh supir.

“Iya. Hari ini dijemput suami, jadi aku gak bawa motor.”

“Oh, itu dia jemputanku” Jessica menunjuk pada sebuah mobil Mercedes hitam mengkilap seri terbaru yang berhenti pas di tempatnya menunggu.

“Bukankah Itu mobil Bapak Ardiansyah ?” tanya wanita tua penuh rasa penasaran.

“Yah, Ardiansyah adalah suamiku.”

Wanita itu terkejut. Tatapannya masih tidak percaya ketika melihat Jessica melambaikan tangan dan menembus hujan masuk kedalam mobil.

Mobil itu telah lama berlalu, tapi wanita tua masih berdiri sana , melongo. Ketika memori membawanya kembali pada kejadian air minum itu, rasa malu menghantam keras hatinya. Tiba-tiba dunia terasa gelap.

Ardiansyah ! Dia adalah sponsor utama yang selalu mendukung kegiatan sanggar tarinya.

“Oh, tidak …”

***
Sahabat, Kita sering menganggap diri kita adalah orang baik. Tapi ketika kita dihadapkan pada bungkus luar dari apa yang mereka pakai, dari kendaraan yang digunakan, begitu gampangnya sikap hati kita berubah.

Bila ‘bungkus luar’ itu bagus, kita cenderung ‘mengangkat tinggi-tinggi’ orang tersebut. Sebaliknya bila ‘bungkus luar’ jelek, kita lalu menjengkalnya, menyepelekan mereka. Senyum kita jadi palsu. Kebaikan hati kita jadi basa-basi.

Note : Sahabat saya pernah memberitahu, kisah ini sempat beredar dimilis-milis dan ditukar judulnya oleh orang yang memforward menjadi Bungkus Palsu, lalu ada lagi yang merubah judulnya menjadi Diangkat tinggi-tinggi karena ada maunya. Semoga ini menjadi pembelajaran untuk menghargai credit title.

Pelajaran Semut Kecil


by : Jeny Khaeni
(Sekar Magazine, Edisi 14/09, Rilis 15 Sept 2009)

Saya tidak memelihara hewan. Kalaupun niat, kura-kura adalah pilihan saya. Bebas bulu soalnya. Meski tidak piara hewan, tak jarang rumah kedatangan hewan-hewan kecil yang tidak diundang. Bagi saya daripada sekedar marah-marah, lebih penting mencari tahu dan mengerti penyebab mereka datang kerumah. Karena itulah cara menuntaskan akar permasalahan.

Putriku, Sila menganggap semut sebagai musuh. Kakinya pernah digigit semut merah saat bermain. Lalu timbul bintil-bintil kecil berair dipermukaan kulit yang sakit sekali bila pecah. Itulah sebabnya dia tidak suka sama semut. Belakangan saya baru tahu Sila suka menginjak-injak semut. Cara yang dia pelajari dari orang lain untuk mengusir semut supaya terhindar dari gigitan.

Suatu sore saya melihat dia mencoba menginjak semut hitam kecil. Ternyata meleset. Semut itu bergerak lebih lincah. Sila bergerak mengikuti semut. Lalu kudekati dia. Sambil berjongkok, saya membawa Sila melihat lebih dekat kawanan semut dan mengajaknya berbicara. Saya katakan bahwa semut juga memiliki papa mama. Jika Sila menginjak semut, papa mama semut pasti kebingungan mencarinya.

Dengan polos Sila melihat tepat ke mataku dan balik bertanya : “Apa kerja papa semut, ma ?”

Meski pertanyaan anak usia 3 tahun itu terdengar lucu, saya tetap menjelaskan bahwa papa mama semut kerjanya membawa remah-remah sisa makanan yang jatuh. Itu alasan para semut berkunjung ke rumah.

Ternyata cara tersebut efektif. Sejak kejadian itu Sila berhenti menginjak semut. Dia juga selalu memperhatikan agar tidak ada sisa makanan jatuh ke lantai.

Pelajaran semut juga membantu Sila mengatasi phobia cicak. Sila jadi memahami apa yang menyebabkan cicak bertandang ke kamar. Dia tidak lagi lupa menutup kembali pintu kamar agar nyamuk-nyamuk tidak masuk. Ada nyamuk ada cicak, begitu rantai makanannya.

Sekarang bila melihat kawanan semut. Sila akan berkata :

“Jangan pijak ya, kasihan !”.

Dia juga bilang pada saya kalau dia telah berkawan baik dengan semut. Duh..lucunya !