Jessica Chandra adalah anggota baru di sanggar tari. Wanita mungil itu selalu terlihat lincah dan riang. Gayanya luwes. Senyumnya ramah. Tidak banyak yang mengetahui usianya sudah berkepala tiga. Sepintas gayanya lebih mirip mahasiswi daripada seorang Ibu beranak satu.
Minggu lalu Jessica terlambat. Dia tidak ingin kejadian itu terulang lagi. Setelah sepeda motor bututnya diparkirkan, dengan langkah tergesa-gesa Jessica langsung menuju meja resepsionis. Masih seperti biasa, senyum lebar selalu menyungging dibibirnya. Lalu dia menyodorkan kartu keanggotaan untuk diabsensi.
Jessica baru menyadari air botol minum dikantong samping ranselnya kosong. Ternyata dia lupa mengisi ulang botol minumnya karena tergesa-gesa. Jessica mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan. Mencari air dispenser. Dalam benaknya, disanggar tari sebesar itu pasti ada air dispenser yang disediakan untuk para member.
Dengan rasa sungkan dan ragu, Jessica bertanya kepada resepsionis apakah ia boleh meminta botol air minumnya diisi kembali.
“Oh, boleh” jawab resepsionis. Dipanggillah seorang pelayan dapur
“Maaf, mbak. Saya lupa mengisi air minum, boleh tolong diisikan ?” tanya Jessica
Jessica lalu memberikan botol minum berukuran 500 cc itu kepada pelayan dapur. Pelayan dapur agak ragu menerima botol minum tersebut. Dengan gelisah ia masih berdiri disana, seakan-akan menunggu persetujuan dari seseorang. Jessica sedikit heran. Keengganan itu terlihat begitu jelas.
Kemudian datanglah seorang wanita paruh baya. Entah siapa dia, tapi Jessica sering melihatnya di kafe lantai bawah. Mungkin pemilik sanggar tebaknya. Jessica merasa tidak enak dengan tatapan tajam dari mata wanita itu. Pelayan dapur agak gugup menjelaskan maksudku kepada wanita tersebut.
“Mbak ini minta air minum,” kata pelayan kepada wanita tua.
Wanita tua dengan sorot tidak bersahabat berkata : “Kenapa tidak beli saja air mineral, dek ? Kami ada menjualnya disini.”
Jessica menangkap pesan penolakan. Dia tau wanita itu enggan mengisikan air minumnya.
“Oh, gak boleh ya. Kalo gitu gak papa kok.”
Senyum Jessica sedikit agak dipaksa. Dia mengambil kembali botol minumnya dari tangan pelayan dapur dan segera bergegas melangkah ke lantai dua. Meski sedikit kecewa, Jessica menghibur diri bahwa dia tidak akan mati dehidrasi saat latihan.
Sementara di lantai bawah, masih terdengar debat kecil antara wanita tua itu dengan resepsionis. Jessica tidak lagi memperdulikan. Dia hanya ingin latihan hari itu segera usai.
***
Hari berikutnya, Jessica masih rutin mengikuti latihan seperti biasanya. Meski ada rasa tidak enak, Jessica tetap santun menundukkan kepalanya sambil tersenyum kepada wanita tua itu ketika menyapanya. Jessica sama sekali tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapapun. Yang pasti sejak itu, Jessica sangat memperhatikan botol air minumnya.
***
Suatu sore, Jessica tidak mengendarai sepeda motor bututnya. Suaminya berjanji akan menjemputnya. Hujan mengguyur deras sekali. Usai latihan, Jessica segera turun. Dia melihat hidangan mie goreng dan nasi goreng di meja. Malam itu adalah perayaan tahun pertama berdirinya sanggar tari. Wanita tua itu terlihat sibuk melayani para member lainnya. Mengajak mereka makan. Banyak yang menolak halus, mungkin takut gemuk, mungkin juga ingin segera pulang. Jessica pun menolak halus ketika ditawarkan. Makan terburu-buru bukan kebiasaannya. Lagipula, dia tidak ingin suaminya menunggu lama.
Jessica mengecek HPnya. Ternyata sms dari suaminya mengabari terlambat menjemput. Jessica masih berdiri diluar dan menunggu disana. Tiba-tiba wanita tua itu telah disampingnya.
“Kamu lagi menunggu seseorang ?”
“Iya. Suamiku”
“Suami ? Saya pikir kamu masih mahasiswi.”
Jessica tertawa. “Aku sudah 35 tahun.”
“Menikah muda ya ?”
“28”.
Jessica tidak tau pasti apakah umur segitu termasuk menikah muda.
“Bukankah kamu yang biasanya mengendarai sepeda motor ?”tanya lagi wanita itu
Tentu saja mudah dikenali. Karena Jessica satu-satunya wanita yang mengendarai sepeda motor ke sanggar. Kebanyakan member yang lain mengendarai mobil, sebagian lagi didrop oleh supir.
“Iya. Hari ini dijemput suami, jadi aku gak bawa motor.”
“Oh, itu dia jemputanku” Jessica menunjuk pada sebuah mobil Mercedes hitam mengkilap seri terbaru yang berhenti pas di tempatnya menunggu.
“Bukankah Itu mobil Bapak Ardiansyah ?” tanya wanita tua penuh rasa penasaran.
“Yah, Ardiansyah adalah suamiku.”
Wanita itu terkejut. Tatapannya masih tidak percaya ketika melihat Jessica melambaikan tangan dan menembus hujan masuk kedalam mobil.
Mobil itu telah lama berlalu, tapi wanita tua masih berdiri sana , melongo. Ketika memori membawanya kembali pada kejadian air minum itu, rasa malu menghantam keras hatinya. Tiba-tiba dunia terasa gelap.
Ardiansyah ! Dia adalah sponsor utama yang selalu mendukung kegiatan sanggar tarinya.
“Oh, tidak …”
***
Sahabat, Kita sering menganggap diri kita adalah orang baik. Tapi ketika kita dihadapkan pada bungkus luar dari apa yang mereka pakai, dari kendaraan yang digunakan, begitu gampangnya sikap hati kita berubah.
Bila ‘bungkus luar’ itu bagus, kita cenderung ‘mengangkat tinggi-tinggi’ orang tersebut. Sebaliknya bila ‘bungkus luar’ jelek, kita lalu menjengkalnya, menyepelekan mereka. Senyum kita jadi palsu. Kebaikan hati kita jadi basa-basi.
Note : Sahabat saya pernah memberitahu, kisah ini sempat beredar dimilis-milis dan ditukar judulnya oleh orang yang memforward menjadi Bungkus Palsu, lalu ada lagi yang merubah judulnya menjadi Diangkat tinggi-tinggi karena ada maunya. Semoga ini menjadi pembelajaran untuk menghargai credit title.
Wednesday, November 11, 2009
Air Minum 500CC
Posted by Jack Hope at 1:08 AM 0 comments
Labels: Warna Warni Hidup
Friday, April 10, 2009
We Are Not A Mind Reader
Suatu sore, saat rute terakhir menuju tempat jemputan, ternyata rantai roda sepeda motor putus. Suami lalu menelepon istri mengabari bahwa akan terlambat menjemputnya. Karena ia perlu membawa sepeda motornya ke bengkel terlebih dahulu. Disebutlah sebuah nama bengkel yang dekat dengan kejadian. Suami yang sedang di jalan, tidak leluasa bercakap lebih lama.

Posted by Jack Hope at 5:47 AM 0 comments
Labels: Warna Warni Hidup
Thursday, March 26, 2009
Cheng Beng : Kita adalah Leluhur
Ini penggalan dari Chatting dengan seorang sahabat, ketika dia mulai bercerita tentang Cheng Beng
***
Sahabat : Kasian (Alm) nenek, gak ada yang sembahyangi kalo aku dan papa gak pergi Cheng Beng
Aku : Kamu itu lucu deh!
Sahabat : Apanya yang lucu ? Sejak kapan tradisi Cheng Beng jadi lucu dikepalamu ?
Aku : Coba kamu bayangin deh. Kita itu sudah mati-hidup-mati lagi-hidup lagi berkali-kali bahkan gak kehitung jumlahnya. Itu berarti kita adalah LELUHUR bagi cicit-buyut-apapun panggilan untuk generasi sebelum kita lahir disini sekarang. Itu berarti kita sedang di CHENG-BENG-IN ama mereka SEKARANG !
Sahabat : Yah, ampun. Itupun kalo aku Tionghua dan lahir di kawasan asia
Aku : (tertawa) Kita umur berapaan sekarang ? 30 ? 30 tahun sebelum kelahiran ini kita ada dimana ? Tradisi Cheng Beng sendiri zaman dinasti kapan ? Rentang waktu segitu jauh loh. Kamu gak yakin ama kebajikanmu sendiri ? Gak yakin dulunya juga lahir di alam manusia ? Tradisi Cheng Beng sendiri ada di setiap etnis dan budaya. Hanya beda nama dan tata cara.
Sahabat : Persentase itu tetap ada sih (Dia jago matematika soalnya). Kemungkinan selalu ada
Aku : Nah, sekarang aku tanya kamu. Apakah kamu bisa popi (blessing) cicitmu ? Jadi jangan minta blessing ama leluhur deh tiap kali sembahyang. Itu kalo leluhur masih ingat hehe. Buktinya kita yang jadi 'LELUHUR' pun gak bisa ingat lagi ama mereka
***
Aku masih ingat. Ketika kecil, setiap ada peringatan kematian leluhur. Mama selalu memintaku berdoa gini : Ama Akong popi sun na ya, biar khua-khua tua han, gau-gau thak chek (Kakek Nenek, mohon blessing anak cucu ya, biar cepat besar dan pintar sekolah)
Aku tidak bilang doa itu tidak tepat. Hanya saja seiring proses. Aku memahami kita tetap akan tumbuh besar kok tanpa perlu doa seperti itu, kecuali kalo emang gen kate. Hehe.....
Tradisi Cheng Beng sering disalah mengerti. Kemudian dicampur aduk dengan Agama Budha dengan pengertian yang tidak tepat. Bagiku tradisi cheng beng adalah cara kita mengenang jasa para leluhur dengan ziarah ke kuburannya, sama halnya dengan para pahlawan yang gugur mempertahankan negara kita dulu. Tanpa leluhur, tidak ada orang tua, tidak ada orang tua, maka tidak ada aku. Itu kenapa sering kali disebut 'semua makhluk mungkin adalah orang tua kita terdahulu'. Bukankah kita masih dalam lingkaran samsara ? Kecuali bagi yang telah memasuki 'arus', mereka tidak lagi dilahirkan.
Cheng Beng jangan dijadikan beban. Mungkin kita melihat banyak sekali orang repot-repot membawa makanan untuk disajikan kepada leluhur, belum lagi kertas gin cua or kim cua, entah kertas sembahyang apa lagi. Sebenarnya orang dulu hanya kuatir 'leluhur' mereka 'kemiskinan' di alam sana. Gak dapat makan or gak punya duit. Sekarang : Kamu adalah LELUHUR! apakah kamu perlu semua 'duit kertas sembahyang itu?'
Makanan yang disajikan sebaiknya tidak dibawa pulang. Biasanya ada orang-orang yang menunggui disekitar kuburan. Just share ama mereka. Berikan kepada mereka. Aku yakin mereka lebih gembira lagi apabila mendapat 'rezeki nomplok' itu. Jasa kebajikan itu kemudian dilimpahkan kepada semua makhluk. Kurasa itu lebih bermakna.
Begitu sudut pandang saya.
Menjadi seorang budhis bukan berarti Anti tradisi. Tapi alangkah baiknya bila tradisi dipahami dengan tepat. Ia tidak akan bertentangan malah bila dipandang dari sudut Dhamma.
Karena berbakti jugalah 'Dhamma'
Semoga Anda bahagia
Semoga Semua Makhluk berbahagia.
_ /\ _
Posted by Jack Hope at 10:53 PM 0 comments
Labels: Warna Warni Hidup
Tuesday, March 24, 2009
Mati disini , Hidup disana
Andai aku bisa teriak,
Akan kuteriakan namaMU
Andai aku bisa menangis,
Akan kutenggelamkan diriku dalam lautan air mata
Dia sekarat. Nafasnya tinggal satu tarikan
Paru-parunya habis saat di rontgen
Semua telah bengkak, terinfeksi.
Membiru. Terbaring lemah. Tak berdaya.
Hanya menghitung waktu
Tik..tak..tik..tak. Lalu tiiiiiiiiiiiit …!
Aku tidak kuat,
Aku tidak sanggup menghibur
Aku tidak mampu melihat derita itu
Aku menghindar,
Aku berlari,
Semakin jauh semakin sesak kurasa
Langkahku berat
Nafasku lemah
Pikiranku kosong
Nanar tatapku
Andai aku bisa memahamiMu
Bahwa mati disini adalah hidup disana
Andai aku bisa tersenyum bahagia
Bahwa sesungguhnya ada yang sedang menyambut sebuah kelahiran
Dari kematian ini
Di suatu tempat….
Sebuah ikatan baru..
Aku masih mencoba memahamiMU
Disini…dalam sujudku!
Posted by Jack Hope at 2:50 AM 0 comments
Labels: Warna Warni Hidup
Tuesday, January 20, 2009
Back to 'LIVE'
Tanganku terasa dingin. Jantung berdegup kencang. Kutarik nafas panjang berkali-kali untuk meminimize ketegangan. Ratusan pasang mata melihat ke arahku. Aku semakin gugup. Ini penampilan pertama setelah sembuh dari sakit. Terlalu lama sudah aku bersembunyi di kamar gelap , meratapi penyakit dibadan.
Dari sudut sana petikan gitar mulai terdengar, Mei Che pun bernyanyi.
Oh, saatnya tiba....kutarik nafas panjang lagi.
kubaca puisi dibawah :
MASIHKAH ADA WAKTU
Pernahkah kita renungi
Tentang arah langkah dalam hidup ini
Masihkah kita terlena oleh belenggu dunia yang menjerat ?
Pernahkah kita mencoba
Hayati Dhamma Sang Buddha
Agar tercapai kebahagiaan sejati
Sudahkah kita menemukan yang kita cari didunia ?
Sadarlah..hai manusia
Semua hanyalah anicca
Mari perbanyak kebajikan
Hindari kejahatan
Semasih ada waktu tersisa buat kita
Harusnya kita mengerti
Hidup di dunia bukanlah mimpi
Sungguh teramat sukar terlahir sebagai manusia
Harusnya kita jalani hidup yang benar
Kendalikan ucapan
Jauhkanlah dari semua dusta
Kendalikan pikiran
Jauhkanlah dari semua noda
Tebarkanlah cinta kasih di lubuk hati
Semasih ada waktu tersisa untuk kita
Hidup di dalam Dhamma
terasa indah
Harusnya kita amalkan SabdaNya
Walaupun hidup seratus tahun lamanya
Sesungguhnya lebih baik hidup sehari
Namun penuh cinta, tiada tercela…..
Ah, Legaa! Akhirnya selesai juga bagianku. Rasanya beban yang menghimpit hilang semua. Yang tinggal adalah rasa puas. Saat acara berakhir, undangan yang hadir menghampiri.
"Wah, suaranya bagus banget" kata seorang ibu.
"Iya, puisinya juga keren'' timpal yang lain
Lebih banyak lagi pujian yang kuterima. Teman-temanku juga mengacungkan jempol. Aku merespon dengan senyum malu-malu.
Tiba-tiba ada seorang wanita menyentuh tanganku. Aku sangat terkejut
"Terima kasih, mbak. Puisimu bagus sekali. Begitu kena dihati. Aku baru kehilangan bayiku. Dia hanya bertahan hidup 19 jam setelah kulahirkan. Puisi itu mengingatku untuk bersyukur aku masih ada waktu. Paling tidak kehamilan itu membuktikan pada keluarga suamiku bahwa aku tidak mandul. Meski kehadirannya hanya sekejap. Aku sempat merasakan kebahagiaan itu."
Dia sepertinya merasa nyaman curhat ke aku. Padahal kami tidak dekat. Aku hanya sering berpapasan di jalan dengannya. Senyum dan berlalu.
Malam itu aku mengerti.
I mean the world to someone.
Posted by Jack Hope at 6:53 PM 0 comments
Labels: Warna Warni Hidup